Selasa, 31 Maret 2020


Delneming adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu melakukan agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu orang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus cari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa pidana tersebut.
Tujuan deelneming adalah untuk minta pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang ikut ambil bagian sehingga terjadinya suatu tindak pidana.

Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :
1. Bersama-sama melakukan kejahatan.
2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan:
1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP, yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)

2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) 56 KUHP
Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)

Dengan demikian dapat diketahui siapa saja orang yang dapat membuat tindak pidana dan siapa pula yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana :
1. Pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam undang-undang.
2. Para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat (mededader) secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan tindak pidana.

Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindap pidana secara pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.

Apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang, maka pertanggungjawaban masing-masing orang yang melakukannya adalah tidak sama, tergantung pada hubungan peserta tsb terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam suatu tindak pidana tsb. 
Berdasarkan pendapat dari para ahli, deelneming terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Zelfstandige deelneming (Deelneming yang berdiri sendiri)
Artinya orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb diminta pertanggungjawabannya secara sendiri.
2. On Zelfstanddige deelneming (Deelneming yang tidak berdiri sendiri)
Artinya pertangungjawaban orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb digantungkan kepada orang lain yang turut melakukannya juga.
Orang-orang yang melakukannya dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Pleger (Orang yang melakukan).
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
2. Doen Pleger (Orang yang menyuruh untuk melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen pleger sedikitnya harus ada dua orang, yaitu ada yang menyuruh (Doen Pleger) dan yang disuruh (Pleger).

Sebab Doen Pleger adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, Orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUH Pidana.

Contoh kasus :
Seorang Perwira Polisi bernama A ingin membalas dendam kepada seorang musuhnya bernama B, untuk melakukan keinginannya tsb ia memerintahkan bawahannya, seorang Bintara Polisi bernama C untuk menangkap B atas tuduhan telah melakukan suatu tindak pidana pencurian.

Dalam hal ini C tidak dapat dihukum atas perampasan kemerdekaan seseorang karena ia berada dibawah perintah dan ia menyangka perintah itu ialah perintah syah. Sedangkan yang dapat dihukum atas tuduhan perampasan kemerdekaan ialah sang Perwira Polisi bernama A.

3. Medepleger (Orang yang turut melakukan).
Turut melakukan berarti bersama-sama melakukan suatu tindak pidana. Sedikitnya harus ada 2 orang, ialah yang melakukan (Pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) tindak pidana tsb. Kedua orang ini kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan suatu tindak pidana tsb.

Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana :
1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku atau dalam kata lain suatu kehendak bersama antara mereka.
2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik).
Contoh kasus :
A dan B berniat mencuri dirumah C. A masuk dari atap rumah lalu membuka pintu untuk B dapat masuk, Kedua-duanya masuk kedalam rumah dan mengambil barang milik C.

Disini C dihukum sebagai “Medepleger” karena melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian tsb.
4. Uitlokker (orang yang membujuk untuk melakukan)
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Seseorang dengan sengaja membujuk seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana dengan memakai bujuk rayu, pemberian, salah memakai kekuasaan, dsb. Sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu yang membujuk dan yang dibujuk.
Contoh kasus :
Kasus Antasari Azhar.
Antasari diduga meminta Kombes Pol Williardi Wizard untuk membantu mancari orang untuk dapat membantu melakukan suatu tindak pidana pembunuhan. Williardi menyuruh Jerry Hermawan Lo dan Edo untuk membunuh Nasruddin Zulkarnaen seorang, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB).

Dalam kasus ini Antasari Azhar dan Williardi Wizard dapat sebagai Uitlokker, karena telah membujuk seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain.
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor intelektualis), unsur-unsurnya adalah:
1. Unsur obyektif:
a. Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
b. Caranya ialah:
1) Memberikan sesuatu
2) Menjanjikan sesuatu
3) Menyalahgunakan kekuasaan
4) Menyalahgunakan martabat/jabatan
5) Kekerasan
6) Ancaman
7) Penyesatan
8) Memberi kesempatan
9) Memberi sarana
10) Memberi keterangan.

2. Unsur subyektif: dengan sengaja.
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur / pembujuk :

1. Kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 3 hal :
a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran.
b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
c. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan. Kesengajaan itu harus ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana.
Contoh:
A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada B untuk melakukan pembunuhan.

Dalam hal ini tidak ditujukan pada orang satu-satunya (B) karena bisa saja yang melaksanakan pembunuhan itu orang lain.
d. Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. Hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh (Doen Pleger)

2. Dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) dan 2.

Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

a. Memberikan sesuatu.
Sesuatu di sini hrs berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang 10 jt kepada B untuk membunuh C.
b. Menjanjikan sesuatu
Janji adalah upaya yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh C
c. Menyalahgunakan kekuasaan.
Adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:

1. Upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
2. Hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.
d. Menyalahgunakan martabat

Martabat di sini misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, sperti camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang2, pengaruh tsb dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)

e. Menggunakan kekerasan

Menggunakan kekuatan fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang dianjurkan)

f. Menggunakan ancaman

Ancaman adalah suatu paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga hrs dapt menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.

g. Menggunakan penyesatan (kebohongan)
Berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.

Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah:
1. Penyesatan pada bentuk pembuat pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana.
Contoh :
A sakit hati pada C dan karenanya A mengehendaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
2. Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.
h. Memberikan kesempatan
Adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex: A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.
i. Memberikan sarana
Berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.
j. Memberikan keterangan
Memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.
3. Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2 penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.
4. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan
5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab

PERTANGGUNG JAWABAN DEELNEMING
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana penyertaan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Ajaran tentang penyertaan sebagai dasar memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 2. Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat delik atau pidana dibagi menjadi 2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab sebagian. Penangungjawab penuh sanksi pidana adalah mereka yang tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen sebagai penanggungjawab penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan penanggungjawab sebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai penanggungjawab percobaan : perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai penanggungjawab pemberi bantuan dalam melakukan perbuatan pidana.

Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana,orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman 1Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Deasy Soeikromo, SH.MH;Fatmah Paparang, SH.MH;Roy Victor Karamoy, SH.MH2Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat. NIM. 100711214pidana.Dalam praktik ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.Kata "penyertaan" dalam judul bab ini yang juga menjadi judul dari titel V Buku I KUHP berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana yaitu yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).Konsep Ajaran Penyertaan dalam Tindak Pidana erat kaitannya dengan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana,konsep dasar pertanggungjawaban pidana merupakan konsep sebuah perbuatan pidana. Jadi Ajaran Penyertaan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam hukum selalu berpangkal tolak dari Ajaran Penyertaan Pidana dan Perbuatan Pidana dengan dimensi peran dalam penyertaanperbuatan pidana dalam suatu tindak pidana.Implementasi hukum pidana berkaitan dengan pertanggunggjawaban pelaku berarti mengenakan sifat tercela dari perbuatan pidana pada orang itu sesuai dengan peran dan kapasitas pelaku atau kontribusinya dalam mewujudkan peristiwa pidana, sehingga patut dijatuhkan nestapa kepadanya. Jadi, tolok ukur atau penentuan mengenai cakupan pertanggungjawaban pidana sangat tergantung terhadap rumusan dan ruang lingkup perbuatan pidana yang ditentukan sebelumnya serta konsep Ajaran Penyertaan di dalam hukum pidana positif. Konsekuensinya akan mengacu kepada cara atau metode yang digunakan dalam menentukan rumusan objektif suatu perbuatan pidana dan Ajaran Penyertaan Pidana, sehingga cakupan dan perubahan-perubahannya akan berpengaruh kepada lingkup pertanggungjawaban pidana bagi pembuatnya.Hukum pidana meminta pertanggungjawaban seseorang berarti mengenakan sifat tercela yang ada pada tindak pidana terhadap orang itu, sehingga patut ipidana. Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak pidana, secara subjektif terhadap pembuatnya.3Sehubungan dengan Ajaran Penyertaan Pidana, Simmon juga berpendapat bahwa unsur-unsur strafbaar feit sebagai een daaddader complex." Artinya bahwa suatu perbuatan pidana meliputi suatu perbuatan 'yang mencakup perbuatan-perbuatan yang beraneka-ragam yang dapat diatur dan ditetapkan sebelumnya, kemudian unsur kesalahan yang juga berbagai corak serta "peran maing-masing pelaku yang bertingkat-tingkat.4Ajaran Penyertaan Pidana harus menjadi pedoman yang akan digunakan bagi semua jenis perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama-sama baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP, tetapi apakah Ajaran Penyertaan Pidana tersebut masih memadai untuk diikuti. Pokok pemikirannya sebagai peletak dasar berfikir bisa saja tetapi pengembangannya harus tetap dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum.Padapraktik hukum ini menjadi tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam mengungkap peran pelaku pada setiap perkara untuk diperiksa dan diputus maksudnya dengan kewenangannya itu agar sempurna sesuai konstruksi peristiwa pidana yang benar-benar terjadi dan memang pelaku semuanya memenuhi atau mencocoki rumusan delik.B.Perumusan Masalah1.Bagaimanakah keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana ?2.Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana penyertaan ?C.Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang tidak bermaksuduntuk menguji hipotesa, maka titik 3Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 89.4E. Utrech Hukum Pidana I Djakarta: Universitas, 1958 hlm. 255. berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan prosedur identifikasi dan inventarisasi hukum positif sebagai suatu kegiatan pendahuluan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. PEMBAHASANA.Ajaran Penyertaan Sebagai Perluasan Delik dan Perluasan Pertanggungjawaban PidanaSebagian besar sarjana hukum di Belanda dan di Indonesia berpandangan bahwa ajaran tentang penyertaan sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar memperluasdapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnyadelik, sebagaimana halnya dengan ajaran tentang Percobaan dan Pembantuan Pidana. Oleh sebab itu, ketentuan normatif mengenai penyertaan diatur dalam Pasal 55 sampai denganPasal 60 KUH Pidana.Namun demikian D.Hazewinkel Suringa5' berpendapat bahwa penyertaan pidana sebagai dasar untuk memperluas pertanggungjawaban pidana selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik, orang-orang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak dapat dipidana, oleh karena mereka tidakmewujudkan delik, misalnya seseorang pejabat atau pegawai negeri yang memerintahkan anggota masyarakat yang dilayaninya untuk mendebet sejumlah uang ke rekening pribadinya, agar mendapat previllege dalam pelayanan publik.Perbedaan pendapat ini, sebenarnya tidakperlu diperuncing secara mendalam mengingat eksistensi penyertaanpidana adalah mencapai tujuan hukum pidana secara praktis yakni demi kepastian hukum dan keadilan mengurai secara benar.Seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana Pompe merumuskan "Strafbaar feit" adalah suatu pelanggarankaidah (pelanggara ketertiban umum), terhadap pelakumempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk 5Hazewinkel-Suringa dalam Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Yarsifwatampone, 2005, hlm. 339.
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015124menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum, sehingga orang tersebut harus dimintakan pe
rtanggungjawaban pidana.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) "Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).6Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan sebagainya).7Selanjutnya pertangungjawabanpidana adalah pertanggungjawaban danpidana merupakanungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan dengan yang lain, dan berakar pada suatu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu pelanggaran dan suatu sistem aturan-aturan.Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan. Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratanuntuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.8Kesalahan dalam pengertian seluas-luasnya, yangdapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanyasi pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila 6Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm.1006.7Ibid, hlm. 776. 8Lihat penjelasan Pasal 31 RUU KUHP 1999-2000, hlm. 22.dikatakan orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.Kesalahan dalamarti bentuk kesalahan dapat juga dikatakan kesalahan dalam arti yuridis, yang berupa pertama, kesengajaan, dan kedua, kealpaan. Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah: 9a)Adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat harus normal;b)Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yakni berupa kesengajaanatau kealpaaan;c)Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.Pertanggungjawaban pidana, ada suatu pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simons yang merumuskan bahwa "strafbaar feit sebagai perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya".Menurut aliran monisme unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur-unsur perbuatan, yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampur antaraunsur perbuatan dan pembuat, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi straf baar feit maka pasti pelakunya dipidana.10Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsurunsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi: pertama kemampuan bertanggungjawab; kedua kesalahan dalam arti luas, yakni sengaja dan atau kealpaan; dan ketiga tidak ada alasanpemaaf.119Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 89.10Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Bandung, 1991, hlm. 50.11A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm, 44.

Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015125Pandangan dualistis yang pertama menganutnya adalah Herman Kontorowicz,12dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (Schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan"ObjektiveSchuld'; olehkarena kesalahan dipandang sebagai sifat dari pada kelakuan.Untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-syarat dari penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu adanya pembuktian adanya Strafbare Handlung (perbuatan pidana), lalu sesudahnyaitu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.13Pandangandualistis ini memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk dalam perbuatan dan yang masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga hal ini mempunyai dampak positif dalam menjatuhkansuatu putusan dalam proses pengadilan (HukumAcara Pidana).14Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, menurut Sauer, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu: pertama, sifat melawan hukum (unrecht); kedua kesalahan (schuld); ketiga pidana (straff).Untuk adanyapertanggungjawaban pidana harus jeias terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.Dalam KUHP sendiri tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukanmenurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP bahwa "seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu: pertama karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan; kedua 12Herman Kontorowicz, tahun 1933 dalam bukunya dengan judul "Tut und Schuld" dalam Andi Hamzah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 90.13Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983, hlm. 22.14Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 55jiwanya terganggukarenapenyakit”.Orangdalam keadaan demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan mengenai pengertian pertanggungjawabanpidana yaitu kemampuan seseorang baik secara mental maupun jasmani untuk menanggungkonsekuensi dari perbuatan yang dilakukannnya sesuai dengan undang-undang.B.Pertanggungjawaban Pelaku Dalam Tindak Pidana PenyertaanPersoalannya apakah konsepsi ajaran penyertaan pidana yang dirumuskan di dalam Pasal 55 KUH Pidana sudahmemadai dalam pemberantasan kejahatan khususnya tindak pidana korupsi dengan peran dan struktur pelaku yang kompleks. Bentuk-bentuk yang dimaksudkan di dalam Pasa155 KUHP Indonesia sebagai berikut:a.Pelaku pelaksana disebut plegenIstilah plegen yakni mereka yang melakukan perbuatan pidana. Dalam memori penjelasan KUHP (memorie van toelichting) tidak dijumpai keterangan sedikitpun, padahal plegen diketahui bagian atau termasuk juga dader.Hal ini menjadi tidak sukar menentukan siapa yang disebut sebagai plegen atau pelakupidana manakalarumusan delik berasal dari Buku kedua dan ketiga, tetapi sebaliknya memerlukan analisis terlebih dulu untuk menentukan plegen yang dirumuskan di luar dari Undang-Undang Tindak Pidana Di luar KUH Pidana, misalnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.Pelaku ini bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana yang dilakukannya secara penuh.b.Pelaku sebagai penyuruh disebut doen plegenPelaku sebagai penyuruh perbuatan pidana adalah bentuk kedua dari penyertaan yang terdapat di dalam Pasal 55 KUH Pidana. Dalam pasaJ tersebut tidak diterangkan apa yang dimaksud dengan penyuruh itu, tetapi dalam memorie van toelicting (memori penjelasan) KUH Pidana Belanda dijelaskan sebagai berikut:

Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015126"Penyuruh perbuatan pidana (doen plegen) adalah juga dia yang melakukan perbuatan pidana tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain, sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanggungjawab karena keadaan yang tahu, disesatkan atau tunduk pada kekerasan:c.Pelaku Peserta disebut medeplegenBentuk ketiga dari penyertaan perbuatan pidana (deelneming) adalah medeplegen yakni bentuk perbuatan pidana yang berada di antara pelaku pelaksana (plegen) dengan pembantuan (medeplichtig). Pelaku peserta adalah orang yang turut serta melakukan sebagian dari unsurunsur delik. Jadi bedanya antara pelaku peserta dengan pelaku pembantu perbuatan pidana adalah:"Pelaku pelaksanan (plegen) sebagai pembuatpidana tunggal yaitu melaksanakan semua unsur-unsur delik, sedangkan pelaku peserta hanya melaksanakan sebagian saja dari unsur-unsur delik dan bersama dengan temannya menyelesaikan delik itu:"d.Pembujuk atau penganjur uitlokkenBentuk keempat dari penyertaan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) sub ke-2 dan ayat (2) KUH Pidana, sebagaimana dengan doen plegen bahwa uitlokken juga merupakan auctor intelectualis, tetapi sebagaimana penyuruh perbuatan pidana bahwa penganjur atau pembujuk perbuatan pidana tidak melaksanakan sendiri unsur-unsur delik, melainkan dilaksanakan oleh arang lain dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang lain karena atau disebabkan anjuran atau bujukan dari penganjur tersebut.Pertanggungjawaban pidana seorang penganjur atau pembujuk menurut Vos15harus memenuhi persyaratan pertama, kesengajaan dan penganjuran atau pembujukan ditujukan terhadap dilaksanakannya suatu delik; kedua>dengan upaya-upaya yang disebut dalam undangundang dan berusaha agar si pelaksana perbuatan pidana melaksanakan delik tersebut; ketiga, sipelaksana perbuatan pidana tergerak hatinya oleh upaya tersebut; keempat, dengan dilaksanakannya delik tersebut atau paling tidak percobaan melakukan delik, si pelaksana perbuatan pidana dapat dipidana asalkan atau 15Ibid, hlm. 106.harus sesuai dengan keinginan pengajur atau pembujuk.e.Pembantuan (Medeplechtige)KUH Pidana Indonesia seperti Wetboek van Strafreht voor Nederlandcsh (kecuali sebelum tahun 1886) menganut perluasan pengaturan penyertaan pidana yang sama, jika dibandingkan dengan Code of Penal Perancis yang tidak memasukkan pembantuan perbuatan pidana sebagai bagian dari penyertaanpidana atau sebaliknya KUH Pidana Amerika Serikat yang terlampau jauh ke muka dengan memasukkan pembantuan "setelah" delik terjadi sebagai penyertaan pidana.Pada dasarnya pembantuan adalah bentuk ke-5 dari penyertaan yang diatur di dalam Pasal 56, 57 dan60 KUH Pidana. Definisi pemberian bantuan sebelum dan ketika delik terlaksana pada hakekatnya adalah perbuatanyang tidak termasuk perbuatan pelaksanaan dari suatu delik, melainkan merupakan perbuatan "yang mempermudah" terjadinya suatu delik atau memperlancar terlaksananya suatu delik. Argumentasi bahwa pembantuan merupakan bentuk kelima dari penyertaan menurut hukum pidana Indonesia adalah sebagaimana hukum pidana Belanda yang dikutip dalam KUHP bahwa title v tentang Deelneming aan strafbare feiten termasuk pula pembantuan di mana khusus bentuk kesatu sampai kelima diatur dalam Pasal 47 dan pembantuan diatur dalam Pasal 48 Wetboek van Strafrecht atau Pasal 55 dan 56 KUHP.Berdasarkan Memori Penjelasan KUH Pidana bahwa pemberian bantuan adalah sesudah delik selesai dilakukan, hanya dapat dijatuhi pidana, apabila pemberian bantuanitu dirumuskan sebagai "delik khusus"; misalnya seperti tercantum pada Pasal 221 Sub ke-2 jo. Pasal 223 jo. Pasal 480 dan Pasal 482 KUH Pidana tentang delik penadahan hasil kejahatan.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat delik atau pidana dibagi menjadi 2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab sebagian. Penangungjawab penuh sanksi pidana adalah mereka yang tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai

Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015127penanggungjawab serta; doen plegen sebagai penanggungjawab penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan penanggungjawabsebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai penanggungjawab percobaan perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai penanggungjawab pemberi bantuan dalam melakukan perbuatan pidana.Jadi sebenarnya pengertian penyertaan perbuatan pidana dari aspek pertanggungjawaban pidana bukan mereka saja yang melakukan perbuatan pidana sesuai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) KUH Pidana melainkan juga merekayang melanggar Pasal 53 dan Pasa156 KUH Pidana. Sebagai catatan Code of Penal Perancis tidak memasukan Pasa156 sebagai bentuk penyertaan pidana.Lebih jauh dapatdikemukakan bahwa secara doktrinal pertanggungjawaban pidana dalam ajaran penyertaan pidana terdapat 2 (dua) paham yakni pertama, sebagaibentuk penyertaan yang berdiri sendiri disebut zelfstandigevormen van deelneming yakni pertanggungjawaban pidana terletak pada setiappeserta yang dihargai sendiri-sendiri dan kedua, bentukkesertaan yang tidak berdiri sendiri disebut onzelfstand ige vormen van deelnemingatau accesoire van deelneming yakni pertanggungjawaban pidana peserta bergantung kepada peserta pidana lainnya.Pandangan doktrinal mengenai pertanggungjawaban khusus Pasal 55 KUH Pidana terkandung pengertian atau cakupan pertama, bagi mereka yangmelakukanpidana, yakni perijelasannya adalah bagi mereka yang mencocokirumusan delik atau memenuhi semua unsur delik. Pelakunya dapat seorang dapat lebih dari seorang.Kedua, bagi mereka yang menyuruh melakukan perbuatan pidana ( dalang) dengan persyaratan bahwa yang mereka suruh melakukan perbuatan pidana adalah sakit jiwa (Pasa1 44 KUH Pidana); mereka melakukan perbuatan pidana dalam keadaan keterpaksaan (overmacht); mereka melakukan perintah jabatan yang diberikansecara tidak sah; mereka keliru rnenafsirkan mengenai salah satu unsur delik; mereka tidalk memiliki tujuan; dan mereka tidak memiliki kualitas yang menjadi syarat daripada delik, sedangkan syarat tersebut hanya ada dan dimiliki oleh mannus domina (dalang).Ketiga,bagi mereka yang turut melakukan perbuatan pidana dengan persyaratan doktrinal bahwa kesertaan itu harus secara fisik dan adanya kesadaran dalam menyertai perbuatan pidana dan antara keduanya itu harus pulaadanya hubungan sebab akibat.Kemudian keempat, yakni bagi mereka yang membujuk untuk melakukan perbuatan pidana dengan persyaratan bahwa adanya penggerak; upaya limitatif (untuk kepastian hukum berupa janji-janji); yang digerakkan memilikikemampu dan bertanggungjawab; dan orang yang dibujuk melakukan perbuatan pidana karena digerakkan oleh pembujuk.Bentuk kesertaan untuk melakukan perbuatan pidana, pada umumnya tidak berdiri sendiri disebut onzelfstandige vorm van deelneming atau accessoire vorm; tetapi adajuga yang berdiri sendiri disebut zelfstandige vorm van deelneming, misalnya Pasal 236 dan 237 KUH Pidana yang antara lain menyatakan:-Pasak 236 : Barangsiapa pada waktu damai dengan memakai salah satu cara tersebut Pasal 55 Nomor 2 sengaja menganjurkan seorang anggota tentara dalam dinas negara, supaya melarikan diri (disersi), atau mempermudahkannya menurut salah satu cara tersebut Pasal 56, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan':-Pasal237: "Barangsiapa pada waktu damai dengan memakai salah satu cara tersebut Pasal 55 Nomor 2 sengaja menganjurkan supaya ada huru-hara atau pemberontakan di kalangan anggota bersenjata dalam dinas negara (muiterij), atau mempermudahnya menurut sesuatu cara yang tersebut dalam Pasal 56, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."Jadi sekali lagi Penulis menyatakan bahwa masalah penuntutan pertanggungjawaban pidana harus untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan.PENUTUPA.Kesimpulan1.Ajaran tentang penyertaan sebagai dasar memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang

Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015128atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.2.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat delik atau pidana dibagi menjadi 2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab sebagian. Penangungjawab penuh sanksi pidana adalah mereka yang tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen sebagai penanggungjawab penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan penanggungjawab sebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai penanggungjawab percobaan : perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai penanggungjawab pemberi bantuan dalam melakukan perbuatan pidana.B.Saran1.Masalah penuntutan pertanggungjawaban pidana harus linierdan mengikuti semua doktrin tentang ruang lingkup penyertaan perbuatan pidana sebagaimana maksud diadakannya ketentuan penyertaan untuk dapat memperluas dipidananya seseorang yang tidak secara penuh atau tidak sama sekali melakukansecaralangsung.2.Ajaran Penyertaan Pidana menjadi sangat relevan dalam menuntut pertanggungjawaban pidana kepada setiap orang yang mempunyai andil dalam peristiwa pidana.Untuk itu maka disarankan kepada penyidik, penuntut umum dan hakimuntuk lebih memahami tentang Ajaran Penyertaan Pidanadalam mengungkap peran pelaku pada setiap perkara untuk diperiksa dan diputus.

JENIS JENIS DEELNEMING:
Hukum Dan Undang Undang ~ Dalam proses penegakan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait Pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.
Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.
Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.

Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyertaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam KUHP kita telah menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan penyertaan menurut Pasal 55 atau Pasal 47 WvS N adalah orang yang plegen, orang yang doen plegen, orang yang medeplegen dan orang yang uitlokking, keempat bentuk penyertaan ini dalam hal pemidanaannya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu pembuat/daders/princippals/autores dan pembantu/ medeplichtige/accessories/ pembantu, untuk pembantuan telah ditetapkan pada Pasal 56 (1e) KUHP. Ajaran turut serta adalah buah pikiran von Feuerbach yang membagi peserta dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
· Mereka yang lansung berusaha terjadinya peristiwa disebut auctores atau urheber yaitu yang melakukan inisiatif adalah :
1. Pelaku (pleger);
2.. Yang menyuruh melakukan (doen pleger);
3. Yang turut melakukan (medepleger); dan
4. Yang membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker).
· Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut mereka yang lansung berusaha, disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige).

Disamping pembagian tersebut ada juga pembagian lain yang dibuat oleh Zevenbergen, Van Hamel, Simons dan Vosyaitu :
1. Peserta yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers) yaitu pleger, doenpleger dan mendepleger. Disebut peserta yang berdiri sendiri karena dapat tidaknya mereka dihukum bergantung kepada apa yang mereka lakukan sendiri.
2. Peserta yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers atau accessoire deelnemers) yaitu uitlokker dan mendiplechtige. Disebut tidak berdiri sendiri karena tidak dapat mereka dihukum, bergantung kepada apa yang dilakukan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan masing-masing bentuk turut serta adalah :
a. Pelaku (Pleger)
Pelaku adalah pembuat lengkap yaitu mereka yang perbuatannya memuat/memenuhi semua unsur-unsur delik yang bersangkutan. Berkenaan dengan rumusan hukum pidana tertentu yang tidak tegas siapa (subyek) dinyatakan melakuan perbuatan pidana dan istilah pleger yang kadang kala dapat diartikan dader, dalam hukum pidana Jerman menyatakan semua bentuk orang yang melakukan perbuatan pidana adalah tater (dader) sebagai perbuatan yang memenuhi syarat rumusan delik, sebaliknya Langemayer menyatakan semua orang yang mewujudkan perbuatan pidana Pasal 55 KUHP dinamakan pleger.

b. Yang Menyuruh Melakukan (doenpleger)

Ajaran ini disebut juga middelijkedaderschap (perbuatan dengan perantara), yaitu seseorang yang berkehendak melakukan suatu delik, tidak melakukan sendiri akan tetapi menyuruh orang lain melakukannya. Menurut Memorie vanToelieting (MvT) didalam menyuruh melakukan terdapat beberapa unsur, yaitu :

1. Adanya seseorang yang dipakai sebagai alat;
2. Tetapi tidak bertanggungjawab atas perbuatannya menurut hukum pidana; dan
3. Orang yang disuruh tidak dapat dihukum.

c. Yang Turut Melakukan (medepleger)
Yang dimaksud dengan turut melakukan dalam KUHP tidak ada penjelasan. Oleh karenanya dalam menafsirkan turut melakukan itu muncul banyak pendapat yang berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Memorie vanToelieting (MvT) hanya disebutkan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana).

Van Hamel dan Trapman berpendapat bahwa turut melakukan itu terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Simons yang juga menempatkan yang turut melakukan itu sebagai pembuat, mengemukakan bahwa yang turut melakukan harus mempunyai pada dirinya semua kwalitet-kwalitet yang dipunyai oleh seorang pembuat delik yang bersangkutan. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh yang turut melakukan tidak perlu merupakan satu perbuatan yang penuh.

d. Yang Membujuk Melakukan (uitlokker)
Maksud yang membujuk melakukan disini adalah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Dari rumasan di atas dapat ditarik beberapa unsur membujuk yaitu :
1. Seseorang atau lebih dengan sengaja membujuk/mengajak/menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu delik (tertentu);
2. Pembujukan dilakukan harus dengan menggunakan salah satu atau lebih cara/ikhtiar yang ditentukan secara limitative/terbatas dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e;
3. Timbulnya kehendak orang yang dibujuk untuk melakukan delik (tertentu) adalah akibat bujukan dari sipembujuk (harus ada psychische causaliteit);
4. Orang yang dibujuk harus telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan delik yang dikehendaki sipembujuk;
5. Orang yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana.

e. Membantu Melakukan (medeplechtigheid) Gehilfe
Bentuk turut serta membantu melakukan ini diatur dalam Pasal 56 KUHP yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keteranga untuk melakukan kejahatan.

Maka disimpulkan adalah bahwa membantu tersebut hanya dapat dihukum dalam membantu kejahatan. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Pasal 60 KUHP yang menentukan bahwa membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum. Membantu melakukan kejahatan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :

· Membantu melakukan kejahatan (medeplichtigheid bij het plegen van het misdrijf). Membantu melakukan kejahatan maka bantuan diberikan pada saat kejahatan sedang dilakukan. Bentuk bantuan dapat berupa berbuat sesuatu (membantu materil) dan membantu dengan memberikan nasehat (membantu intelektuil).

· Membantu untuk melakukan kejahatan (medeplichtigheid tot het plegen van het misdrijf). Membantu untuk melakukan kejahatan maka bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan. Cara membantu ditentukan secara terbatas dalam Pasal 56 KUHP yaitu memberi kesempatan, daya upaya dan keterangan.

Sumber Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :
1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
3. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
4. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.html
5. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-tindak-pidana.html
6. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/ilmu-hukum-pidana.html
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :
1. Bersama-sama melakukan kejahatan;
2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; dan
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Unsur-unsur Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam Bab V KUHP yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam Pasal 55 sampai 60 yang pada garis besarnya berbetuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantuan (Pasal 56 dan 59). Sehingga bentuk-bentuk ini diperinci menjadi unsur-unsur dari turut serta (deelneming) yaitu :

1. Dua orang atau lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak pidana,
2. Ada yang menyuruh dan ada yang disuruh melakukan suatu tindak pidana,
3. Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana,
4. Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat tertentu unutk melakukan tindak pidana,
5. Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang (dianggapkan) turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu,
6. Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu tindak pidana kejahatan.

Ketentuan pidana dalam Pasal 55 dan 56 KUHP disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), dapat diambil rumusannya bahwa :

· Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan;
2. Mereka yang dengan pemberia-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

· Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu adalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan orang lain, berikut akibat-akibatnya.

Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), dapat diambil rumusannya bahwa :
1. Mereka yang sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebtu; dan
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.

Sumber Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :
1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
3. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-tindak-pidana.html
4. http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/ilmu-hukum-pidana.html
5. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.html